Selamat Tinggal Teluk Bayur Permai

emmahaven

Emmahaven adalah nama tempo doeloe dari pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang. Nama yang diambil dari Ratu Belanda pada masa itu, Emma van Waldeck-Pyrmont. Perubahan nama menjadi Teluk Bayur kurang diketahui penyebabnya, mungkin karena banyak ‘bayur’ di sana (silakan cari sendir arti kata ‘bayur’, segan ambo menjelaskannya… hehehe ;p)

Pembangunan pelabuhan yang ditujukan untuk mengapalkan hasil tambang batu bara dari perut bumi di Sawahlunto ke negeri Belanda, dimediasi oleh “Mak Itam” (sebutan untuk lokomotif uap dan kereta pengangkut batu bara) serta difasilitasi oleh rel yang dibangun hampir mengelilingi wilayah Sumatera Barat. Mulai dari Sawahlunto, Solok, Padang Panjang, kemudian bercabang satu ke Bukittinggi dan satunya lagi ke Pariaman. Dari Pariaman terus ke Padang hingga pelabuhan.

Panjangnya jalur disebabkan karena tidak memungkinkan untuk membangun rel kereta melewati kawasan Sitinjau Laut, pendakian paling curam di Indonesia dengan sudut 2 x 45 derajat (agak lebay… ;p)

Pembangunan rel kereta api yang hampir mengelilingi wilayah Sumatera Barat membawa dampak positif bagi kehidupan orang Minang tempo dulu. Di samping perekonomian juga menjadi mediasi bagi mereka yang dari daerah ‘darek’ untuk hendak menuntut ilmu ke Batavia bahkan hingga ke Belanda. Moda transportasi yang lebih cepat dan disiplin (gak pernah pindah jalur) menggantikan padati dan kudo bendi, apalagi berjalan kaki.

Dampak lainnya adalah bagi mereka yang hendak menikmati pesona alam Minangkabau tempo dulu cukup menggunakan kereta api, dapat mengambil ‘paket tour’ A : Padang – Pariaman – Padang Panjang – Bukittinggi atau ‘paket tour’ B : Padang – Pariaman – Padang Panjang – Solok – Sawah Lunto P.P.

Namun kini hampir tinggal kenangan, bantalan rel banyak yang berubah menjadi pondasi rumah. Pemerintah dan masyarakat seolah abai terhadap sejarah. Mungkin (ntah kapan itu) kita dapat kembali menikmati paket wisata ‘Mak Itam’ mengelilingi negeri indah, alam Sumatera Barat 🙂

***

bayur

Naaahh… pertanyaannya sekarang, seberapa familiar kah generasi rantau muda Minangkabau dengan pelabuhan Teluk Bayur?

Kalau dulu tahun 60’an, generasi kakek nenek kita waktu masih muda-muda mungkin jika hendak merantau pasti ke pelabuhan ini dulu untuk menanti kapal yang akan membawa ‘anak dagang’ ke tanah Jawa. Kata ‘tanah Jawa’ adalah generalisasi dari Jakarta dan sekitarnya yang merupakan tujuan rantau favorit pada masa itu.

Begitu berkesannya sehingga banyak lagu Minang lamo yang menyebutkan pelabuhan ini dalam liriknya. Tengok saja lagu Bundo Elly Kasim dan Bunda Ernie Djohan, yang berkisah tentang galaunya hari anak rantau yang hendak berangkat dan gamangnya hati sang kekasih yang ditinggal merantau.

Kalau kini, mungkin pelabuhan rantau beralih ke utara Kota Padang, tepatnya ke Bandara Internasional Minangkabau (BIM) di Ketaping, Padang Pariaman. Ingat yaa, sebagaimana Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng yang buakn lagi masuk wilayah Jakarta, pun BIM juga bukan lagi masuk wilayah Kota Padang.

Alhamdulillaahhh… mungkin positifnya yang dapat diambil adalah sudah banyak anak dagang yang sukses di rantau, sehingga kalau pulang ke kampung (mudik lebaran) sudah mampu men-cater pesawat (kapa tabang atau unggeh basi orang Minang lama menyebutnya).

Namun semestinya pelabuhan Teluk Bayur usah lah dilupakan, banyak historis dan kenangan di sana yang dapat diambil untuk pembelajaran bagi generasi rantau muda Minangkabau 🙂

PS : Kalau ambo pribadi, jika memang waktu luang dan masih ada kapal ke Padang, mungkin akan memilih untuk menggunakan moda transportasi ini ketibang pesawat, sebab waktunya lebih lama, jadi jatuhnya lebih murah di ongkos, hahaha… ;p

Yaa… hitung-hitung menikmati alunan gelombang samudera sebagaimana kodrat kita sebagai cucu seorang pelaut 😉

Mungkin juga saatnya sekarang kita mengucapkan selamat berpisah untuk pelabuhan nan permai itu 🙂