Yang Muda, Yang Bercinta

Yang Muda, Yang Bercinta adalah film karya (Alm.) Sjuman Djaja pada tahun 1977. Film ini dilarang peredarannya oleh pemerintah Orde Baru pada saat itu, karena dianggap dapat memicu tindakan subversif.
Film ini mengambil latar di Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.

Film yang dibintangi oleh (Alm.) W.S. Rendra ini berkisah tentang :

Sony — mahasiswa dan penyair yang belum punya penghasilan tetap. Oleh karena itu hidupnya masih sangat tergantung pada ayahnya (Maruli Sitompul), seorang pensiunan pegawai negeri yang jujur. Berbeda dengan pamannya yang kaya tapi hartanya diperoleh secara tak halal (Sukarno M. Noor). Kesenjangan sosial antara kekayaan paman, sahabatnya dengan lingkungan pribadi dan pacarnya, Titiek (Yati Octavia) yang sederhana menimbulkan masalah bagi Sony. Protes-protes tentang hal ini ditampilkan dalam bentuk puisi. Sikap Sony yang gemar protes dan seolah-olah tak kenal tanggungjawab, menjelujuri seluruh film. Benturan terjadi pada saat Sony akan membeli SIM karena mendapat skuter dari pamannya; pacarnya hamil, dia lari untuk mengendapkan permasalahnnya. Ia berusaha menghadapi kenyataan hidupnya dengan sikap dewasa.

***

Sajak Pertemuan Mahasiswa

“Sajak Pertemuan Mahasiswa” ini dibacakan oleh W.S. Rendra di Universitas Indoensia pada 1 Desember 1977, sekaligus menjadi adegan awal film “Yang Muda Yang Bercinta”.

Matahari terbit pagi ini
Mencium bau kencing orok di kaki langit
Melihat kali coklat menjalar ke lautan
Dan mendengar dengung di dalam hutan

Lalu kini ia dua penggalah tingginya
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini
Memeriksa keadaan ,,,

Kita bertanya : “Kenapa maksud baik tidak selalu berguna ??”
“Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga ??”

Orang berkata : “Kami ada maksud baik”
Dan kita bertanya : “Maksud baik untuk siapa ??”

Ya !!

Ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras

Dan kita disini bertanya : “Maksud baik saudara untuk siapa ??”
“Saudara berdiri di pihak yang mana ??”

Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
Tanah–tanah di gunung telah dimiliki orang–orang kota

Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat–alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

Tentu ,, kita bertanya : “Lantas maksud baik Saudara untuk siapa ??”
Sekarang matahari semakin tinggi
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala

Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
“Kita ini dididik untuk memihak yang mana ??”

Ilmu–ilmu diajarkan di sini
Akan menjadi alat pembebasan
Ataukah alat penindasan ??

Sebentar lagi matahari akan tenggelam
Malam akan tiba
Cicak–cicak berbunyi di tembok
Dan rembulan berlayar

Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
Akan hidup di dalam mimpi ??
Akan tumbuh di kebon belakang ??

Dan esok hari ,, matahari akan terbit kembali
Sementara hari baru menjelma
Pertanyaan–pertanyaan kita menjadi hutan
Atau masuk ke sungai menjadi ombak di samudera

Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera
Ada yang habis, ada yang mengikis
Dan maksud baik kita ,, berdiri di pihak yang mana !

***

Sajak Sebatang Lisong

“Sajak Sebatang Lisong” dipersembahkan W.S. Rendra untuk mahasiswa ITB dan dibacakan pada 17 Agustus 1977 di ITB, sekaligus menjadi salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”.

Menghisap sebatang lisong
Melihat Indonesia Raya
Mendengar seratus tiga puluh juta rakyat

Dan di langit ,, dua tiga cukong mengangkang
Berak di atas kepala mereka

Matahari terbit ,, fajar tiba
Dan aku melihat delapan juta kanak–kanak tanpa pendidikan

Aku bertanya ,, tetapi pertanyaan–pertanyaanku
Membentur meja kekuasaan yang macet
Dan papan tulis para pendidik
Yang terlepas dari persoalan kehidupan

Delapan juta kanak–kanak
Menghadapi satu jalan panjang

Tanpa pilihan ,,
Tanpa pepohonan ,,
Tanpa dangau persinggahan ,,
Tanpa ada bayangan ujungnya ,,

Menghisap udara ,,
Yang disemprot deodorant

Aku melihat sarjana–sarjana menganggur
Berpeluh di jalan raya
Aku melihat wanita bunting
Antri uang pensiunan

Dan di langit ,, para teknokrat berkata :
Bahwa bangsa kita adalah malas
Bahwa bangsa mesti dibangun
Mesti di-upgrade
Disesuaikan dengan teknologi yang diimpor

Gunung–gunung menjulang
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat ,, protes–protes yang terpendam
Terhimpit di bawah tilam

Aku bertanya ,, tetapi pertanyaanku
Membentur jidat penyair–penyair salon
Yang bersajak tentang anggur dan rembulan
Sementara ketidakadilan terjadi disampingnya
Dan delapan juta kanak–kanak tanpa pendidikan
Termanggu–manggu di kaki dewi kesenian

Bunga–bunga bangsa tahun depan
Berkunang–kunang pandang matanya
Di bawah iklan berlampu neon

Berjuta–juta harapan ibu dan bapak
Menjadi gemalau suara yang kacau
Menjadi karang di bawah muka samudera

Kita mesti berhenti membeli rumus–rumus asing
Diktat–diktat hanya boleh memberi metode
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
Kita mesti keluar ke jalan raya
Keluar ke desa–desa
Mencatat sendiri semua gejala
Dan menghayati persoalan yang nyata

Ini lah sajakku ,, pamflet masa darurat
Apakah artinya kesenian ,, bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir ,, bila terpisah dari masalah kehidupan

Leave a comment